Rabu, 15 April 2009

Sejarah Majapahit

Dikenal sebagai Pusat Magis Seluruh Kerajaan Nusantara

Oleh: Anam Anis*
KERAJAAN Majapahit, selain mempunyai sebuah ibu kota sebagai pusat pemerintahan dan tempat kedudukan raja serta para pejabat kerajaan, ternyata juga sebagai pusat magis bagi seluruh kerajaan. Apabila ditinjau dari konsep kosmologi, maka wujud Ibu Kota Majapahit dianggap sebagai perwujudan jagad raya, sedangkan raja identik dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Gunung Mahameru.

Keberadaan Kota Majapahit menurut konsep tersebut memiliki tiga unsur, yaitu unsur gunung (replikanya dibentuk candi), unsur sungai (replikannya dibentuk Kanal) dan unsur laut (replikanya dibentuk waduk).

Gambaran tentang Kerajaan Majapahit, khususnya tentang penataan pemukiman istana dan sekitarnya telah diuraikan dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh VIII-XV. Disebutkan bahwa keadaan istana dikelilingi oleh tembok yang kokoh dengan parit keliling diluarnya.

Susunan bangunan di istana meliputi tempat tinggal raja dan keluarganya, lapangan manguntur, pemukiman para pendeta dan rumah-rumah jaga pegawai kerajaan. Rumah di dalam istana indah, bagus dan kuat. Ibu Kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh raja-raja daerah dan kota-kota lain. Di sekitar istana tempat kedudukan raja terdapat tempat-tempat kedudukan raja-raja daerah (paduka bhattara) serta para pajabat/pembesar kerajaan.

Kerajaan Majapahit sebagai mandala yang dikelilingi oleh pulau-pulau lain yang disebut wilayah Nusantara (dwipantara) dan kerajaan-kerajaan lain yang mengelilingi baik sebagai negara-negara sahabat (mitra) maupun sebagai negara-negara atau daerah-daerah yang ada dibawah pengaruh atau perlindungan kekuasaan negara Majapahit.

Dalam struktur birokrasi pemerintahan Kerajaan Majapahit, seorang raja atau biasa disebut Sri Maharaja adalah merupakan penguasa tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia. Raja sebagai orang nomor satu di kerajaan adalah orang suci yang dihormati, mempunyai kekuasaan yang besar didukung oleh perangkat birokrasi maupun militer serta sebagai seorang yang pengasih dan pelindung rakyat dan negara.

Untuk itu sebagai seorang raja haruslah mencurahkan anugerah kepada rakyatnya, harus menghukum pencuri dan pejahat, harus membuat bahagia seluruh rakyatnya dengan wajah dan senyumnya, harus selalu mengetahui keadaan rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat.

Hubungan antara raja dengan pegawai-pegawainya dalam birokrasi pemerintahan Kerajaan Majapahit adalah berbentuk hubungan clienship, yaitu ikatan seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi.

Sedangkan hubungan raja dengan rakyatnya digambarkan sangat akrab dan ada saling ketergantungan sebagai tercermin dalam Negarakrtagama pupuh LXXXIX, yaitu negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan.

Raja sebagai puncak tertinggi dalam hirarki kerajaan dalam menjalankan tugas dibantu sejumlah pejabat birokrasi, para putra dan kerabat dekat raja mendapatkan kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum diangkat menjadi raja pada umumnya diberi kedudukan sebagai raja muda (rajakumara).

Misalnya Jayanegara sebelum menjadi raja, terlebih dahulu berkedudukan sebagai Rajakumara di Daha. Hayam Wuruk sebelum naik tahta menjadi Raja Majapahit, terlebih dahulu berkedudukan sebagai Rajakumara di Kabalan.

Slamet Mulyana dalam Negarakrtagama dan tafsir sejarahnya (1979: 159), menjelaskan bahwa Jayanegara dinobatkan sebagai raja muda di Kediri pada tahun 1295.

Pengangkatan raja dimaksud sebagai pengakuan bahwa raja yang sedang memerintah akan menyerahkan hak atas tahta kerajaan kepada orang yang diangkat sebagai raja muda, jika yang bersangkutan telah mencapai usia dewasa atau jika raja yang sedang memerintah mangkat.

Raja muda Majapahit yang pertama ialah Jayanegara. Raja muda yang kedua adalah Dyah Hayam Wuruk yang dinobatkan di Kahuripan (Jiwana) dengan nama raja abhiseka Sri Rajasanegara. Pengangkatan raja muda tidak bergantung pada tingkatan usia.

Baik raja Jayanegara maupun Raja Dyah Hayam Wuruk masih kanak-kanak, waktu diangkat menjadi raja muda, pemerintahan di negara bawahan yang bersangkutan dijalankan oleh patih dan menteri.

Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Majapahit, pernah mencapai puncak kejayaan pada abad ke XIV semasa dibawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Hal ini tak lepas dari sosok raja sebagai pimpinan/penguasa tertinggi kerajaan yang memang benar-benar mahir dalam menjalankan roda pemerintahan, berhasil membangun sistem peradilan yang baik guna menegakkan hukum (supremasi hukum) yang bersumber pada hukum adat dan agama serta berlandaskan pada ajaran budi pekerti, menghukum yang bersalah tampa pilih-pilih dan melindungi yang benar tanpa pamrih.

Seluruh hasil pajak (upeti), telah digunakan sepenuhnya untuk melaksanakan pembangunan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Raja sebagai pimpinan tertinggi kerajaan, ternyata sangat dihormati dan dipatuhi seluruh perintah-perintahnya, baik oleh para pejabat, para pegawai maupun oleh rakyatnya.

Hal inilah yang membuat konsep-konsep pembangunan negara dapat berjalan sebagaimana mestinya, tanpa mengenal Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).

Peta politik kekuasaan negara Majapahit, nampaknya tidak dibangun melalui partai politik (Parpol), akan tetapi dibangun dengan sistem turun temurun atau sistem kewarisan tahta kerajaan. Suksesi kepemimpinan kerajaan seperti tersebut diatas bila di kaji dengan menggunakan kacamata demokrasi modern, mungkin saja dianggap tidak demokratis.

Namun kenyataannya penyelenggaraan negara Kerajaan Majapahit dapat berjalan dengan baik, tanpa ada protes atau demo-demo, bahkan telah berhasil mencapai puncak kejayaan dan zaman keemasan. Situasi ini sangatlah berbeda dengan peta politik kekuasaan di Negara Indonesia, dimana terhitung sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat ini, kekuasan negara diperebutkan melalui skenario politik dari banyak partai politik dengan bersenjatakan demokratisasi.

Namun hasilnya banyak rakyat yang kecewa, karena janji-janji peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dikala kampanye, seperti pendidikan gratis, biaya pengobatan gratis, pelayanan publik dipermudah dan dipercepat, dan lain-lain ternyata selalu tidak ada buktinya.

Bahkan ke depan sepertinya, sistem perebutan kekuasaan pemerintahan negara atau daerah akan semakin tidak memberikan harapan yang lebih baik bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini nampak dari semakin jauhnya keterlibatan orang-orang yang memiliki figur pemimpin yang benar-benar pemimpin, hanya karena yang bersangkutan tidak memiliki biaya/dana yang besar.

Kharisma pemimpin kini sudah tidak dibutuhkan lagi, sehingga wajar saja bila rakyat gampang protes atau demo-demo karena ada ketidakpuasan terhadap para pemimpin yang dalam pemilihannya diusung oleh parpol-parpol dengan landasan kontrak-kontrak politik semata.

Sudah saatnya, parpol pengusung calon pemimpin yang terpilih untuk mau bertanggung jawab atas segala tindakan yang melanggar hukum dan menyengsarakan rakyat yang dilakukan oleh seseorang pemimpin yang berhasil diusungnya. Marilah kita menoleh pada sejarah keberhasilan dan kejayaan bangsa zaman Kerajaan Majapahit, karena bangsa Majapahit adalah leluhur bangsa Indonesia. (*)

*)Penulis: Kelompok Peduli Mojopahit “Gotrah Wilwatikta” Mojokerto - Jawa Timur.
Radar Mojokerto, Senin, 14 Jan 2008

This entry was posted on Monday, January 14th, 2008 at 05:48 and is filed under Purbakala. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response,

Tidak ada komentar: