Sabtu, 06 Juni 2009

Kemajuan Program Nuklir Korea Utara


Selama seminggu, delegasi enam negara kembali berkumpul di Beijing bulan Desember 2006, namun tak berhasil mencapai langkah nyata untuk memastikan penghentian ambisi nuklir Korea Utara.

Christopher Hill
Christopher Hill
Pimpinan delegasi Amerika Serikat, Wakil Menteri Luar Negeri Christopher Hill, mengatakan perundingan saat ini memasuki masa rehat, dan mungkin akan kembali dilangsungkan dalam beberapa minggu ke depan.

"Tentu saja kami kecewa tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Tapi kita lihat nanti, apa yang bisa kita lakukan,” kata Hill.

Dalam tiga tahun terakhir, Amerika Serikat, Rusia, China, Jepang dan Korea Selatan telah menjanjikan bantuan ekonomi dan kerjasama diplomatis, jika Korea Utara mau mengakhiri program nuklirnya.

Pada bulan September 2005, Pyongyang memang sempat berjanji membongkar fasilitas nuklir mereka. Tapi nyatanya, sampai akhir tahun 2006, Pyongyang tetap menolak mengambil langkah apapun, dengan alasan Amerika Serikat harus terlebih dulu menghentikan restriksi ekonomi atas Korea Utara. Pendirian ini ditolak Washington, yang bersikeras bahwa restriksi itu bertujuan untuk menghentikan kejahatan pencucian dan pemalsuan uang di Korea Utara.

Namun Pyongyang kembali menegaskan isu ini dalam pertemuan enam negara di Beijing, dan menolak membicarakan langkah-langkah pembongkaran fasilitas nuklir.

Delegasi Korea Utara bahkan mengawali pertemuan enam negara di Beijing dengan menyatakan diri sebagai kekuatan nuklir, dan mengeluarkan daftar permintaan. Menurut pakar, sikap percaya diri Korea Utara timbul setelah uji coba senjata nuklir mereka 9 Oktober silam.

Menurut Kim Taewoo, pengamat senior di Institut Analisa Pertahanan Korea di Seoul, uji coba nuklir Korea Utara itu menegaskan kembali keberadaan mereka di Asia Timur, dan bahkan mendorong Jepang untuk mempertimbangkan pengembangan persenjataan nuklir.

Sebagai respon terhadap uji coba nuklir Korea Utara, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi berupa sanksi ekonomi terhadap negara itu. Bahkan China, yang selama ini dikenal dekat dengan Korea Utara, ikut mendukung pemberian sanksi.

Secara politis, langkah Korea Utara pun sangat berdampak terhadap hubungannya dengan Korea Selatan, yang telah memburuk sejak tahun 1950an.

South Korean President Roh Moo-hyun speaks during a nationally televised press conference at the President House in Seoul, South Korea, Wednesday, Jan. 25, 2006
Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun
Anggota-anggota parlemen di Korea Selatan mempertanyakan kebijakan Presiden Roh Moo-hyun menyangkut Korea Utara. Roh dikenal dengan kebijakannya yang bersahabat dengan Korea Utara. Pendekatannya xenderung mendorong Korea Utara untuk mengakhiri isolasi, lewat jalur ekonomi.

Namun uji coba nuklir Korea Utara membuat lawan-lawan politik Roh mempertanyakan efektivitas kebijakan itu.

Dalam pidatonya bulan Oktober lalu, Roh mengakui bahwa kebijakannya membutuhkan sejumlah “penyesuaian”.

Banyak pihak, termasuk Roh, tetap berpendapat, masih lebih baik mencari jalan keluar lewat dialog, daripada membiarkan konflik pecah menjadi perang.

Lee Jang-hie, presiden Asosiasi Hukum Internasional cabang Korea, mendukung pandangan ini, dan menyalahkan Amerika Serikat atas buntunya perundingan selama ini.

Menurut Lee, Korea Utara akan terus memperpanjang proses negosiasi nuklir, kecuali bila Amerika Serikat menyediakan jaminan keamanan bagi Pyongyang.

Namun Amerika Serikat berpandangan bahwa kebijakan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun, dengan dukungan China, justru memberi angin bagi Pyongyang. AS meminta Beijing dan Seoul untuk menghormati sanksi PBB yang membatasi pengiriman materi senjata dan barang mewah ke Korea Utara.

Beberapa pengamat keamanan regional berpendapat tak ada cukup insentif bagi Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya, bahkan sanksi berat sekalipun, tak akan efektif.

Menurut Park Yung-ho dari Institut Korea untuk Unifikasi Nasional di Seoul, penyebabnya adalah karena Pyongyang melihat kapasitas nuklir mereka sebagai satu-satunya sisa bukti kekuatan dan legitimasi rezim Kim Jong Il.

Tapi tak semua pengamat pesimis dengan perkembangan perundingan nuklir Korea Utara. Menurut Kim Sung-han dari Institute of Foreign Affairs and National Security di Seoul, ada beberapa alasan yang mendukung.

Kim mengatakan, dalam tahun 2007 akan ada peristiwa-peristiwa politik penting di tiga negara peserta perundingan: China akan melakukan persiapan akhir Olimpiade 2008, pemilihan presiden di Amerika Serikat tahun 2008, dan pemilihan presiden Korea Selatan pada bulan Desember 2007. Semuanya ini menambah tekanan untuk menyelesaikan isu nuklir Korea Utara.

Namun bila perundingan ini pada akhirnya gagal, dan Korea Utara tak bergeming, Amerika Serikat dan sejumlah negara lain telah memperingatkan, Korea Utara hanya akan menghadapi resiko sanksi lebih berat.

Tidak ada komentar: