Kamis, 04 Juni 2009

mitos Israel Tak Terkalahkan dan tak Tertandingi ?

Performa Israel dalam peperangan melawan bangsa-bangsa Muslim di kawasan tersebut pada 1948, 1956, 1967, dan 1973, sejak lama dianggap sebagai bukti superioritas militer Israel. Terlepas dari superioritas mereka dan pendudukan mereka atas tanah-tanah umat Islam, diperkirakan bahwa konflik militer langsung dengan Israel bukanlah tindakan negara-negara Arab yang sesungguhnya, namun demi mencari alasan untuk melakukan perjanjian dengan Israel. Konsekuensi dari berbagai aksi militer itu berujung pada pengakuan kedaulatan Israel melalui berbagai rancangan semacam proses perdamaian.

Dalam menilai kemampuan militer Israel, kita harus mengingat satu hal: mengapa mitos tentang kekuatan militer Israel ini ada?

Perang 1948, Rekayasa Israel

Perang 1948 dipicu oleh diproklamirkannya negara Israel merdeka. Secara rasional, sangat sulit menerima kenyataan bagaimana 40 juta orang bangsa Arab tidak mampu mengalahkan 600.000 orang Yahudi. Pengamatan mendalam kepada upaya pertahanan wilayah Palestina menunjukkan bahwa aksi tersebut pada kenyataannya diarahkan langsung untuk berdirinya Israel.

Para pembela urusan Palestina, seperti Raja Abdullah dari Trans-Yordania, Raja Farouk dari Mesir, dan Mufti Palestina, adalah para pemimpin lemah yang sebelumnya sering ditipu oleh Inggris. Pencitraan Raja Abdullah atas dirinya sendiri sebagai pembela bangsa Palestina adalah suatu kesalahan. Semua orang tahu bahwa dirinya dan Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) pernah sama-sama belajar bersama sebagai mahasiswa di Istanbul. Diketahui pula bahwa dalam beberapa pertemuan bawah tanah, Abdullah pernah menawarkan untuk menerima kedaulatan Israel sebagai bayaran atas kembalinya dirinya ke Yordania untuk memerintah di kawasan Palestina yang berpenduduk Arab.

Saat dirinya terusir (dari Hejaz.), Raja Abdullah memiliki sebuah Legiun Arab –satu unit tentara terlatih berkekuatan 4.500 orang– dengan seorang Inggris, Jenderal John Glubb, sebagai komandan utamanya. Dalam memoarnya, Glubb menyebut bahwa dirinya berada dan diperintah langsung oleh Inggris, agar tidak memasuki kawasan-kawasan yang dikontrol oleh Yahudi[1]. Mesir sengaja memperlemah serangan ke Israel ketika Nakrashi Pasha, Perdana Menteri Mesir, sengaja tidak menggunakan unit-unit militer, namun hanya mengirim tentara sukarelawan yang baru dibentuk pada bulan Januari tahun tersebut. Yordania juga menunda keberangkatan tentara Irak di wilayahnya, sehingga menahan serangan atas Israel. Inilah sebabnya mengapa seorang Imam buta yang sengaja didatangkan untuk mendoakan tentara Yordania sebelum pertempuran sengaja mempermalukan Abdullah dengan berkata: “Wahai tentara, andai engkau tentara kami,[2]” (ditujukan kepada Legiun Arab yang dikendalikan Inggris).

Walaupun kekuatan gabungan negeri-negeri Muslim mencapai jumlah 40.000, hanya 10.000 dari mereka yang benar-benar tentara terlatih. Zionis hanya berkekuatan 30.000 orang tentara, 10.000 tentara pertahanan dan 20.000 lainnya penjaga pemukiman. Selain itu, ada sekitar 3.000 geng kriminal Irgun dan Stern yang dilatih dan dipersenjatai secara khusus. Mereka dibekali dengan persenjataan terbaru dan disokong oleh dana agen-agen Zionis di AS dan Inggris. Terlepas dari kesiapan Yahudi dalam perang itu, sikap pengecut dan pengkhianatan para pemimpin Muslim adalah faktor penentu jejak Yahudi di Palestina.

Krisis Suez 1956

Konflik ini bukanlah perang yang sesungguhnya demi kemerdekaan Palestina, melainkan hanya sebuah pergulatan kecil antara AS dan Inggris untuk mengontrol terusan Suez yang memiliki arti penting dalam jalur perdagangan.

AS memandang Mesir sebagai sekutu yang dibutuhkan dalam menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. Melalui CIA, AS merekayasa sebuah kudeta untuk menjatuhkan Raja Farouk pada 1952. Kemudian AS menempatkan sekelompok perwira yang dipimpin Gamal Abdul Nasser ke tampuk kekuasaan. Pada 1951, CIA menjalankan sebuah proyek bernama ‘The Search for a Moslem Billy Graham’. Mike Copeland, kepala operasi CIA, mengemukakan sejumlah informasi tertentu dalam memoarnya pada tahun 1989 yang berjudul ‘The Game Player’, tentang kudeta yang didalangi AS untuk menyingkirkan boneka Inggris, Raja Farouk. Copeland yang menjalankan proyek tersebut menjelaskan bahwa ‘CIA membutuhkan seorang pemimpin kharismatik yang akan mampu mengalihkan sikap Anti Amerika yang semakin meningkat di wilayah tersebut.’ Ia menjelaskan, baik CIA dan Nasser memiliki kesepahaman soal Israel. Bagi Nasser, pembicaraan tentang Israel sama sekali tidak relevan dengan dirinya. Ia menempatkan prioritasnya pada pendudukan Inggris di kawasan Terusan Suez. Musuh Nasser adalah Inggris.

Pada tahun 1956, Nasser menjalankan pesan AS untuk melakukan nasionalisasi Terusan Suez. Ini dijawab oleh Inggris dengan melibatkan Perancis dan Israel ke dalam pertempuran. Peristiwa ini dijelaskan oleh Corelli Barnet di dalam bukunya ‘The Collapse of British Power’: ‘Perancis marah kepada Nasser karena Mesir membantu pemberontak di Aljazair, dan merasa memiliki keterikatan sejarah dengan Terusan Suez. Orang Perancis-lah yang membuat terusan itu. Sebelumnya, Israel sudah jengkel kepada Nasser karena serangan pasukan fedayeen Palestina dan blokade Mesir atas Selat Tiran. Maka Sir Anthony Eden (Perdana Menteri Inggris) membuat skenario tripartit dengan Perancis dan Israel.[3]’ Lebih lanjut dia menjelaskan, ‘bahwa Israel akan menyerang Mesir melalui semenanjung Sinai.’ ‘Inggris dan Perancis akan menyerukan kepada Israel dan Mesir untuk menghentikan peperangan, atau mereka akan melakukan intervensi untuk melindungi Terusan Suez.’[4]

AS dan Uni Soviet melakukan tekanan diplomatik untuk memaksa Inggris menarik diri. Rusia secara langsung mengancam Paris dan London dengan serangan nuklir. Besarnya tekanan internasional waktu itu memaksa Inggris dan Perancis untuk hengkang dan kehilangan jejaknya di Mesir. Pemerintahan AS, di bawah Eisenhower, bertindak tegas dengan mengancam akan memberikan sanksi ekonomi kepada Israel jika mereka tidak menarik diri dari kawasan-kawasan yang dirampasnya dari Mesir, sesuatu yang akan membawa malapetaka bagi Israel bila terjadi. Setelah krisis berlalu, AS muncul sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah.

Perang Enam Hari 1967

Perang ini juga merupakan episode lain dari konflik Anglo-Amerika dalam memperebutkan pengaruh di kawasan tersebut. Setelah 11 tahun kehilangan dominasinya, Inggris masih menyisakan sedikit pengaruh melalui para agennya di Yordania, Suriah, dan Israel. Sebagai salah satu upaya memperlemah Nasser, Inggris menjebak Israel agar menarik Mesir ke dalam perang, di mana Israel dapat memperluas wilayahnya dan menggunakannya sebagai alat perundingan dalam perjajian perdamaian setelahnya; cara mewujudkan keamanan yang mati-matian diusahakan Israel untuk tercapai. Pada 5 Juni 1967 Israel melakukan serangan awal dan menghancurkan 60% kekuatan Angkatan Udara Mesir serta 66% mesin tempur Suriah dan Yordania.

Israel merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari tangan Yordania. Sebelum meletusnya pertempuran, Raja Hussein menempatkan tentaranya di kawasan-kawasan selain kawasan tempat berlangsungnya pertempuran utama. Hanya dalam waktu 48 jam, Israel telah sepenuhnya menduduki seluruh kota di Tepi Barat. Dengan cara yang sama pula, Israel menduduki Dataran Tinggi Golan pada hari ke-6. Pasukan Suriah yang berada di Dataran Tinggi Golan mendengar sendiri berita jatuhnya kawasan tersebut ke tangan Israel dari radio negara mereka, padahal jelas-jelas mereka menduduki kawasan itu. Israel juga memberikan pukulan telak kepada Nasser dengan mencaplok Sharm El Sheikh dan mengamankan jalur perairan Selat Tiran dari blokade Mesir. Tujuan memperlemah rezim Nasser pun tercapai, sehingga menambah pengaruh Inggris ke kawasan tersebut. Israel mampu memperluas wilayahnya dan menggunakannya sebagai alat tawar-menawar dengan kawasan lain dalam negosiasi perdamaian, yang hingga kini juga masih dipakainya sebagai alat tawar-menawar –bukan dengan status 1948. PBB menggagas rencana pembagian wilayah, dengan memberikan 67% wilayah kepada Israel dan 42 % bekas wilayah Palestina sendiri kepada Palestina. Pada Perang 1967, pendudukan Israel menjadikan wilayahnya seluas 78% dari wilayah Palestina dulu.
Perang 1973

Pada awal Oktober 1973, perang yang dilancarkan Mesir dan Suriah kepada Israel menunjukkan bahwa tujuan yang hendak mereka capai bersifat terbatas dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kemerdekaan Palestina. Tujuan perang itu bahkan juga tidak mencakup pembebasan Dataran Tinggi Golan yang wajib dikembalikan berdasarkan perjanjian damai antara Israel dan Suriah. Tujuan peran itu yang sesungguhnya adalah demi memperkuat posisi Anwar Sadat dan Hafez al-Assad, yang merupakan pemimpin yang relatif baru di masing-masing negara dan berkuasa karena kudeta. Sadat, secara khusus, menduduki posisi yang rentan karena ia menggantikan posisi Nasser yang kharismatik.

Muhammad Heikal, editor terkemuka harian al-Ahram antara 1957-1974, yang menyaksikan langsung perang tersebut, menjelaskan motif sesungguhnya dari perang yang digagas Anwar Sadat dalam bukunya ‘The Road to Ramadhan’ di mana ia mengamati keinginan Sadat dalam berperang. Heikal mengutip kalimat yang dilontarkan oleh salah seorang jenderal Sadat, Muhammed Fauzi, yang memberikan analogi seorang samurai yang menarik dua pedang –yang satu panjang dan yang satu lagi pendek– sebelum terjun ke dalam pertempuran. Fauzi mengatakan bahwa pedang tersebut adalah pedang yang pendek, menunjukkan bahwa perang tersebut hanya pertempuran terbatas yang dilakukan atas motif tertentu.

Anwar Sadat sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengalami perang berkepanjangan dengan Israel. Inilah sebabnya mengapa ia mengajukan tawaran damai dengan Israel ketika tentaranya berada dalam posisi unggul di medan perang. Dalam 24 jam pertama peperangan, Mesir memukul pertahanan Israel di Bar Lev, sebelah Timur Terusan Suez dengan hanya kehilangan 68 orang tentara. Sementara 2 divisi Suriah dan 500 tanknya menyapu ke arah Dataran Tinggi Golan dan menduduki kembali kawasan-kawasan yang direbut pada 1967. Dalam dua hari peperangan, Israel telah kehilangan 49 pesawat dan 500 tank. Di tengah kecamuk perang, Sadat mengirimkan pesan kepada Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, dengan mengatakan bahwa tujuan perang tersebut adalah mencapai perdamaian di Timur Tengah sepenuhnya, dan bukan penyelesaian masalah yang parsial.’ Pesan tersebut bermakna bahwa bila Israel menarik diridari semua kawasan yang didudukinya, Mesir akan siap berpartisipasi dalam pembicaraan damai di bawah PBB atau penengah netral.

Jadi, terlepas dari keuntungan strategis yang dimilikinya, hasrat awal Sadat sejak awal hanyalah negosiasi. Penolakan Sadat untuk mengumumkan posisinya di medan perang dan keputusannya menunda serangan kedua di Sinai memungkinkan Israel melakukan mobilisasi, dengan bantuan AS, dan menduduki kembali kawasan-kawasan yang lepas. Peperangan ini sendiri berakhir secara formal pada 25 Oktober 1974.

Semua peperangan dengan Israel adalah gambaran terbaik yang menunjukkan bahwa para pemimpin Muslim memang tidak pernah serius memerangi Israel demi kemerdekaan Palestina. Semua contoh yang dikemukakan di atas menunjukkan kenyataan di balik mitos, di mana umat ini diperdaya agar mempercayainya.

Pengkhianatan nyata telah dilakukan para pemimpin bermuka dua yang telah berkolaborasi dan membantu menciptakan mitos superioritas Israel, dengan menyatakannya, memelihara dan menjaganya tetap ada. Peperangan-peperangan yang dilakukan negara-negara Arab membuktikan bahwa negara-negara tersebut tidak pernah, baik sendiri ataupun bersama-sama, memerangi Israel untuk menghancurkannya. Masing-masing perang dilancarkan demi tujuan jangka pendek tertentu, tidak ada satu pun yang dilancarkan untuk membebaskan Palestina dan menghancurkan Israel. Tujuan untuk memberikan ancaman kepada Israel tidak pernah menjadi sasaran utama, terlepas dari besarnya kekuatan gabungan angkatan bersenjata seluruh negara Arab.(sumber : buku Mitos Mitos Palsu Ciptaan Barat; Adnan Khan ,Hizbut Tahrir Inggris)

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/10/mitos-israel-tak-tertandingi/

Tidak ada komentar: