Sabtu, 30 Mei 2009

Menciptakan dan mencari Lapangan | lowongan Kerja

banyak Di kalangan mahasiswa, virus “bayang-bayang masa depan” ini tampaknya mulai menancapkan taringnya. Biasanya pada mahasiswa tingkat akhir yang sepertinya sudah tinggal menyelesaikan skripsi, namun mereka memilih mengolor waktu untuk segera menapaki karpet wisuda. Faktor penyebabnya memang ada banyak, tak bisa dijelaskan satu persatu di sini. Tapi ada satu guyonan di kalangan teman-teman di kala kumpul-kumpul bareng dosen-dosen pembimbing yang penasaran ingin tahu mengapa mahasiswa-mahasiswa bimbingannya lama sekali menyelesaikan skripsi mereka. Ada seorang teman, yang dikenal berotak encer sekaligus aktif dalam kegiatan kampus plus idealis, memberikan kontribusi opini secara sukarela.

“Sebagai seorang mahasiswa saya merasa lebih nyaman menadah tangan ke orang tua meminta uang untuk biaya kuliah, ketimbang meminta uang untuk biaya hidup.”
Masalah selepas kuliah hendak kemana, mau apa, sebenarnya bukan masalah menakutkan tentang mendapat pekerjaan atau tidak.

Masalah sebenarnya pikiran kita terlalu terpaku pada pikiran baku orang-orang sekitar, bahwa selepas wisuda mereka harus segera mendapatkan kerja yang layak dan bergengsi. Apalagi jika baru satu bulan lulus sudah mendapat label PNS. Itu baru disebut orang sukses.

Oleh sebab itulah banyak lulusan-lulusan perguruan tinggi baik swasta maupun negeri tumplek blek membanjiri semua kantor/perusahaan/pabrik yang mengeluarkan woro-woro lowongan pekerjaan.

Jika kita mencoba merubah paradigma berpikir untuk tidak bergantung pada sebuah perusahaan (baca: mencari sebuah pekerjaan) tentu virus “tidak mendapat kerja” tidak begitu menakutkan. Daripada kita bingung “mencari-cari” sesuatu yang kadang tidak sesuai dengan keinginan, ada baiknya jika kita mengubah “pencarian” kita dengan sebuah PENCIPTAAN. Yea, menciptakan sebuah lapangan kerja.

Berwiraswasta kan perlu modal. Dapatnya dari mana dhuwitnya???!

Setiap membicarakan wiraswasta dan modal, kita tidak harus selalu menginterpretasikannya dengan uang berjuta-juta triliun. Modal bisa berupa apa saja, termasuk keinginan, semangat, keahlian, dan lain-lain. Memiliki keinginan untuk berwirausaha, menciptakan pekerjaan sendiri, itu harus. Alasan secara linguistiknya, agar seumur hidup tidak harus menjadi obyek penderita terus tetapi menjadi subyek selamanya.

Kalimat umumnya adalah tidak menjadi orang yang dipekerjakan dan digaji terus tetapi menjadi orang yang mempekerjakan dan menggaji. Ketika keinginan kuat muncul, maka giliran berikutnya semangat berwirausaha akan berkembang untuk menemukan cara terbaik menjadi pengusaha.

Banyak orang mengasumsikan bahwa semangat adalah roda penggerak menuju masa depan. Jadi bukan omong kosong belaka jika ada pepatah: manusia tanpa semangat seperti burung tanpa sayap. Selamanya tinggal di darat tanpa pernah mengalami rasa terekstasi ketika take off dan terbang melebarkan sayap menjelajah angkasa. Salah satu cara terbaik menjadi pengusaha adalah memanfaatkan keahlian yang telah kita miliki. Sebagai mahasiswa tentu mudah menyadari skill yang dimiliki masing-masing.

Tidak sedikit mahasiswa yang sudah menyimpan jiwa wirausaha mereka sejak mereka masih duduk di bangku kuliah. Ketika berada di tahun terakhir dan hanya memiliki sedikit kegiatan di dalam kampus yaitu menyusun tugas akhir, mereka mulai melirik kegiatan di luar. Mereka berinisiatif membuka les-lesan kecil bagi adik-adik di sekitar tempat tinggal mereka, baik secara individual maupun kelompok. Hal tersebut membuktikan bahwa mereka memiliki kejelian melihat peluang.

Bagaimana tidak? Kebutuhan guru les saat ini banyak dibutuhkan, baik yang bertaraf individu semi profesional hingga lembaga profesional, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Alasan yang sangat jelas adalah, para orang tua lebih mempercayakan pendidikan akademik anak-anak mereka pada orang lain daripada mendidiknya sendiri.

Selain mengisi waktu luang dan memanfaatkan keahlian mereka dibidang akademik dengan mengajar, banyak juga mahasiswa yang melirik kegiatan sampingan seperti penerjemah, penulis, pengusaha counter HP, atau penjual pernak-pernik kebutuhan mahasiswa secara kecil-kecilan. Profesi sampingan tersebut sedikit banyak diakui para pelakunya membawa keuntungan, meski tidak banyak namun cukup menambah uang saku mereka.

Tentu saja hal tersebut sebanding dengan skala usaha yang mereka kerjakan, yaitu usaha sampingan. Jika seusai lulus dari kuliah dan mereka memperbesar skala usaha mereka, tentu keuntungan yang di dapat lebih besar lagi.

Tetapi di situlah letak kemandegan jiwa pengusaha para lulusan akademisi. Selepas wisuda dan menenteng ijasah, banyak dari mereka yang melepas kegiatan sampingan mereka dan bergabung bersama mahasiswa dari ratusan lulusan universitas lainnya sekaligus berlomba-lomba memasukan ijasah mereka ke perusahaan-perusahaan yang mereka anggap bonafit. Secara perhitungan memang menjadi pegawai di sebuah perusahaan besar, mereka memperoleh penghasilan lebih cepat dengan resiko paling minim daripada merintis sebuah usaha dari bawah. Tapi jika dilihat jangka panjangnya, tentu kita bisa memperoleh lebih dengan membuat usaha sendiri.

Untuk mengatasi masalah proses pencarian kerja yang sulit di atas kita harus kembali lagi pada masing-masing individu. Sebelum para mahasiswa dapat mengubah pikiran mereka bahwa menjadi pengusaha lebih baik daripada hanya sebagai pegawai, maka masalah menumpuknya pengangguran intelektual belum bisa diatasi secara maksimal.

dari Mencari atau Menciptakan Lapangan Kerja?

Tidak ada komentar: