Jumat, 29 Mei 2009

VOC

VOC adalah organisasi dagang digantikan oleh Kompeni dengan kekuatan bersenjata yang besar, meningkatkan penindasan terhadap Ummat Islam di Maluku yang tiada tara sampai hampir tak kuasa lagi menerimanya, namum perlawanan terus berlanjut walau tidak mampu lagi mengangkat senjata.
Perlawanan Non Fisik / Tak Bersenjata.
Kerajaan-kerajaan Islam di Maluku telah berhasil dihancurkan satu demi satu, tetapi tidak demikian dengan semangat kebenciannya terhadap penjajah yang telah merenggut kemerdekaan mereka sekali- gus memaksakan keyakinan yang bertentangan dengan paham ke-Tauhidan Islam. Bersamaan dengan kekalahan kerajaan-kerajaan Islam di Maluku terjadilah peperangan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan melawan kolonial Belanda. Kera-jaan-kerajaan inipun mengalami nasib yang sama, yaitu dikalahkan dan ditaklukkan. Para pejuang yang tertangkap dibuang ke berbagai daerah di luar Jawa di antaranya Maluku. Sebagai pejuang mereka tidak pernah mau berhenti memerangi Belanda, dan sebagai pemim-pin dalam suatu peperangan mereka pasti menyandang gelar Kiyai atau pemuka agama.
Dengan modal semangat perlawanan (pejuang) dan keahlian ilmu agama Islam (Kiyai) mereka menyusup ke dalam Ummat Islam di Maluku dengan alasan kegiatan keagamaan, tetapi sesungguhnya mereka memimpin dan menggerakkan perlawanan terhadap Belanda secara non fisik/tanpa bersenjata. Terakhir sekali adalah kedatangan Pangeran Diponegoro dengan rombongan sebagai buangan, dan bersama pengikutnya berdiam di kampung yang sekarang bernama Kampung Diponegoro, yang semula tempat itu bernama Ajeng berubah karena pengaruh dialek Ambon menjadi Ajang. Para pejuang ini memimpin Ummat Islam di Maluku untuk melakukan aksi pembangkangan yang memberikan pukulan berat bagi pihak penjajah. Perlawanan non kooperatif/pembangkangan, yaitu bentuk perlawa-nan secara diam-diam, yakni menolak bekerjasama dalam bentuk apa pun dengan penjajah serta merongrong pada aspek-aspek tertentu dengan tujuan melemahkan dan menggerogoti wibawa serta kekuatan pemerintah Belanda.
Perlawanan ini efektif pada 20-30 tahun pertama, saat para pemim-pinnya aktif memberikan petunjuk, arahan dan dorongan semangat. Namum perlawanan yang memakan waktu seratus tahun lebih terse-but menjadi kurang efektif, sebab kurang memiliki daya tahan, tidak ada pembentukan kader dan pemimpin lapangan yang akan melan-jutkan perlawanan tersebut. Kegagalan membentuk pemimpin Pelan-jut, mengakibatkan perlawanan menjadi kurang terarah dan tidak punya tujuan yang jelas. Apa yang terus bergelora adalah semangat mereka untuk tidak mau bekerja sama dan membangkang saja.
Pada waktu itu tidak ada Ummat Islam yang bersedia menjadi serdadu Belanda, guru dan pekerjaan-pekerjaan yang berada di bawah kendali Belanda. Ummat Islam lebih memilih pekerjaan non formal seperti nelayan, pedagang kecil (wiraswasta), tukang dan sejenisnya. Bahkan bersekolahpun ditolak, Ummat Islam lebih memilih pengajian dan Madrasah. Di luar Maluku, orang lebih mengenal orang Ambon adalah Kristen, hal ini disebabkan oleh serdadu Belanda asal Maluku yang bertugas di luar Maluku (Jawa,dsbnya) relatif tidak ada yang beragama Islam, sehingga yang terjadi ibarat gayung bersambut.
Dalam kisah perlawanan tanpa senjata ini, barangkali perlu kita telusuri adanya beberapa marga (Vam) di kota Ambon yang bukan marga asli dari Maluku seperti Betawi, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Padang, Diponegoro, Aceh dan sebagainya. Yang jelas marga tersebut menunjukkan darimana mereka berasal, sebab waktu itu semua orang harus mempunyai vam, mereka yang tidak mempunyai vam memilih daerah asal mereka sebagai vam. Siapakah mereka ini, sekurang-kurangnya sebagiannya adalah para pejuang yang dibuang oleh Belanda dulu yang memimpin Ummat Islam di Maluku melakukan aksi pembangkangan/non kooperatif. Tanyalah para tetua kita, bagaimana orang Waihaong, Talake, Silale, Soabali, Batu Gajah (Diponegoro) Batu Merah, Pardeis dsb belajar silat? Mereka belajar tertutup dalam rumah atau di halaman belakang agar tidak diketahui kaum Nasrani. Bila ada Nasrani yang datang, latihan segera dihentikan agar tidak diketahui jurus-jurusnya. Jadi para tetua itu belajar untuk menghadapi Penjajah Belanda (dibenaknya) dan kaum Nasrani. Persis seperti kisah dalam serial film Si Pitung dari Marunda
Perlawanan terhadap penjajah Belanda yang berlangsung lebih 100 tahun itu, sebagian besar berlangsung tanpa koordinasi, bahkan tanpa pemimpin yang jelas sehingga semangat melawan pemerintah kolonial tanpa disadari, berubah arah dan tujuannya. Sikap Ummat Islam yang tampaknya kurang partisipatif saat ini, tidak lepas dari peninggalan masa lalu itu, yang membentuk watak dan karakter sebagian besar di antara mereka, sehingga terhadap pemerintahan sendiripun mereka juga kurang memberikan partisipasi yang berarti. Banyak kerugian yang diderita Ummat Islam akibat proses perjuangan panjang tanpa koordinasi dan pimpinan ini, yang pada akhirnya menghasilkan kon- disi yang amat tidak menguntungkan seperti yang kita alami sekarang
Ummat Islam di Maluku tertinggal hampir di semua aspek kehi- dupan berbangsa dan bernegara secara fisik, tampak maupun yang tidak tampak tetapi terasa sebagai suatu kenyataan. Setelah Indonesia merdeka, Ummat Islam di Maluku mencapai banyak kemajuan di semua sektor, tetapi kita harus mengakui bahwa dibandingkan dengan Ummat Kristen kita terlalu terlambat, ibarat berlomba dengan kaum yang menggunakan kendaraan, sedang kita berjalan kaki. Dengan demikian jarak ketertinggalan kita dari hari ke hari kian jauh, sehingga barangkali kondisi ini dapat memicu kecemburuan sosial. Di sisi lain kemajuan yang diperolah Ummat Islam, terutama munculnya generasi muda cendekiawan merupakan saingan bagi pihak Kristen yang walau pun dalam skala rendah, mereka melihatnya sebagai ancaman yang membahayakan. Merasa adanya ancaman (yang sesungguhnya tak seberapa besar), maka kerukunan yang selama ini terjalin mulai goyah. Pihak Kristen melakukan aksi penghambatan dengan menutup peluang bagi yang Islam di berbagai sektor strategis. Ketidak adilan ini semakin terasa, sementara yang Islam hanya dapat merasakan tetapi tidak ada upaya nyata untuk mengatasi persaingan itu. Lebih diperparah lagi, bahwa barisan Ummat Islam masih tercerai berai, para cendekiawan yang berkualifikasi pemimpin masih amat terbatas.

semoga berguna

Tidak ada komentar: